Wilfried Zaha Marah Usai Diremehkan Oleh Jean-Philippe Mateta
Wilfried Zaha Marah Usai Diremehkan Oleh Jean-Philippe Mateta. Wilfried Zaha, winger berbakat asal Pantai Gading yang kini bersinar di Galatasaray, meledak amarahnya setelah komentar mantan rekan setimnya, Jean-Philippe Mateta, bocor ke publik. Pada 16 Oktober 2025, Mateta, striker Crystal Palace yang baru saja debut untuk timnas Prancis, mengungkap dalam wawancara bahwa Zaha dan beberapa pemain lain pernah menertawakan ambisinya bermain untuk Les Bleus saat masih satu tim di Selhurst Park. Zaha langsung balas di Instagram dengan nada pedas, sebut klaim itu “disgusting” dan “nasty”, sambil klaim sudah bicara langsung dengan Mateta tapi tak dapat klarifikasi memuaskan. Insiden ini tak hanya picu perdebatan di kalangan penggemar Premier League, tapi juga ingatkan betapa rapuhnya hubungan di ruang ganti. Di usia 32 tahun, Zaha yang punya sejarah panjang di Crystal Palace merasa diremehkan, terutama saat kariernya lagi naik daun di Turki. Apa yang bikin Zaha begitu geram? Dari klaim awal Mateta hingga respons emosionalnya, mari kita bedah tiga sisi utama konflik ini yang bikin sepak bola Inggris ramai. REVIEW FILM
Klaim Mateta yang Picu Ledakan Emosi Zaha: Wilfried Zaha Marah Usai Diremehkan Oleh Jean-Philippe Mateta
Mateta tak sengaja buka luka lama saat cerita soal perjuangannya capai debut Prancis. Dalam obrolan pasca-laga kualifikasi Piala Dunia akhir pekan lalu, ia bilang bahwa saat masih di Crystal Palace pada 2021-2022, Zaha dan rekan lain seperti Conor Gallagher sering ejek mimpinya panggil timnas senior. Mateta gambarkan itu sebagai “bullying” ringan yang bikin ia sempat ragu, tapi justru tambah motivasi hingga akhirnya dipanggil Didier Deschamps. Ia sebut Zaha, yang waktu itu kapten tidak resmi di lini serang, tertawa paling kencang saat ia bilang ingin main untuk Prancis daripada Kongo.
Bagi Zaha, ini pukulan telak. Ia yang lahir di Abidjan tapi besar di London, pernah tolak panggilan Inggris demi Pantai Gading, tahu betul tekanan ambisi internasional. Klaim Mateta terasa seperti tuduhan hipokrit, apalagi Zaha sendiri alami ejekan serupa saat pindah ke Galatasaray musim panas 2023 setelah 13 tahun di Palace. Mateta, 28 tahun dan lagi on fire dengan 12 gol musim ini, mungkin tak bermaksud jahat—ia malah puji Zaha sebagai “pemain hebat”—tapi kata-katanya langsung viral, bikin Zaha merasa reputasinya tercoreng sebagai “pengejek” daripada mentor. Ini awal badai: apa yang dimaksud Mateta sebagai cerita inspirasi, bagi Zaha jadi serangan pribadi yang tak pantas.
Respons Pedas Zaha yang Bikin Media Sosial Meledak: Wilfried Zaha Marah Usai Diremehkan Oleh Jean-Philippe Mateta
Zaha tak tunggu lama untuk balas. Kurang dari 24 jam setelah wawancara Mateta tayang, ia unggah video panjang di Instagram Story, dengan wajah merah padam dan nada suara tinggi. “My head’s on fire,” katanya sambil geleng-geleng, lanjut sebut komentar Mateta “disgusting” karena bohong dan tak adil. Zaha klaim sudah hubungi Mateta secara pribadi untuk klarifikasi, tapi striker Palace itu “tak mau” akui kesalahannya. Ia tambah emosi saat bilang ini bukan soal dirinya, tapi soal menghormati perjuangan orang lain—terutama sesama pemain Afrika yang sering diremehkan di Eropa.
Video itu langsung dapat jutaan view, dengan penggemar Crystal Palace terbelah: sebagian dukung Zaha sebagai legenda klub, yang lain bilang Mateta cuma cerita fakta. Zaha, yang punya 440 penampilan untuk Palace dan cetak 68 gol, jarang bicara publik seperti ini—terakhir saat kritik rasisme di liga. Responsnya tak cuma marah; ia sebut ini “nasty” karena Mateta naik daun berkat bimbingan dirinya dulu, termasuk saat Zaha ajari trik dribel. Ini bikin narasi bergeser: dari cerita sukses Mateta jadi tuduhan pengkhianatan. Media seperti Sky Sports sebut ini “clash mantan rekan” paling panas sejak era Roy Hodgson, dan Zaha tutup video dengan harap Mateta “bicara jujur” agar tak rusak persahabatan lama.
Dampak Lebih Luas pada Karier dan Dinamika Ruang Ganti
Konflik ini tak berhenti di medsos; ia soroti isu lebih dalam soal mental pemain di sepak bola elit. Zaha, yang alami depresi dulu gara-gara tekanan Palace, lihat klaim Mateta sebagai trigger trauma—ia pernah cerita soal ejekan serupa dari fans dan media saat gagal pindah ke Arsenal. Bagi Mateta, yang lahir di Prancis dari orang tua Kongo, ceritanya mungkin inspirasi bagi generasi muda Afrika di liga Inggris, tapi bagi Zaha, ini remehkan perjuangannya sendiri sebagai pemain kulit hitam yang tolak narasi “talent Afrika tak stabil”.
Di sisi karier, ini bisa ganggu fokus. Zaha lagi bagus di Galatasaray, dengan tiga gol di Europa League, sementara Mateta jadi andalan Palace di bawah Oliver Glasner. Tapi insiden ini picu spekulasi: apakah Zaha akan boikot reuni Palace nanti? Atau Mateta dipanggil lagi ke Prancis dengan bayang komentar ini? Pengamat bilang ini ingatkan betapa rapuhnya solidaritas di ruang ganti, di mana mentor seperti Zaha sering jadi korban saat muridnya sukses. Dampak positifnya? Buka diskusi soal bullying di sepak bola, dengan Zaha dorong pemain bicara terbuka soal mental health. Tapi negatifnya jelas: hubungan mantan rekan retak, dan penggemar Palace yang cinta keduanya kini harus pilih sisi.
Kesimpulan
Amarah Wilfried Zaha atas remehan Jean-Philippe Mateta bukan sekadar ribut kecil; ini cerita soal rasa hormat, perjuangan, dan luka tersembunyi di balik gemerlap sepak bola. Dari klaim Mateta yang tak disangka picu ledakan, respons pedas Zaha yang viral, hingga dampaknya pada karier dan ruang ganti, semuanya tunjukkan betapa kompleksnya dinamika pemain. Zaha, yang selalu bangkit dari tantangan, mungkin pakai ini sebagai bahan bakar untuk musim depan—sementara Mateta belajar bahwa sukses tak boleh langgengkan luka orang lain. Bagi penggemar, ini pelajaran: di balik gol dan assist, ada cerita manusiawi yang layak dihormati. Konflik ini mungkin reda seiring waktu, tapi pesannya abadi: bicara jujur, jangan remehkan mimpi siapa pun. Sepak bola butuh lebih banyak Zaha yang berani bicara, bukan diam dalam amarah.